Kamis, 07 Juli 2011

Survei Indo Barometer Tidak Dilandasi Etika dan Moral

Era reformasi boleh menginjak usia tigabelas tahun. Kebebasan berbicara dan berpolitik yang dikungkung oleh Soeharto selama 32 tahun, kini sudah lenyap, meski harus dibayar mahal, termasuk hilangnya nyawa para reformis. Namun, prestasi reformasi agaknya belum mencapai titik sempurna oleh pelbagai persoalan yang justru dinikmati pada era Soeharto. Namun yang pasti, rezim SBY-Boediono saat ini memang buruk, tetapi bukan berarti rezim Soeharto lebih baik. Terpenting lagi, dalam melakukan surveinya, Indo Barometer seyogianya berlandaskan etika dan moral penelitian.

HASIL survei nasional yang dirilis Indo Barometer bertajuk “Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono” memang cukup mengejutkan. Betapa tidak, 36,5 persen dari 1.200 responden memilih mantan Presiden Soeharto sebagai presiden yang paling disukai rakyat. Sedangkan Presiden SBY bertengger di posisi kedua, dengan meraup suara sebesar 20,9 persen.

Selanjutnya, mantan Presiden Soekarno berada di tingkat ketiga dengan perolehan suara sebesar 9,8 persen. Hanya berbeda tipis dengan sang ayah, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri berada di urutan keempat dengan total suara 9,2 persen. Di urutan kelima, mantan Presiden BJ Habibie mengantongi perolehan sebesar 4,4 persen. Sedangkan di posisi kunci, ditempati mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang hanya memiliki suara sebesar 4,3 persen.

“Secara ilmu, survei itu sah-sah saja. Sayangnya, survei Indo Barometer tidak dilandasi etika dan moral penelitian. Sebab, survei ini dikhawatirkan menggiring publik kembali ke masa Soeharto. Makanya saya sangat menyayangkan survei kawan-kawan di Indo Baromoter,” tukas aktivis Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi kepada Monitor Indonesia, Senin (16/5/2011).

Bagaimana pun, lanjut Massardi, rezim SBY-Boediono saat ini memang buruk, tetapi bukan berarti mengatakan era Soeharto lebih baik. Pada zaman Soeharto, masyarakat hanya menikmati rasa aman dan tingkat kesejahteraan yang lebih mapan. Sedangkan saat ini, kebebasan yang dijamin demokrasi sudah berjalan baik, yang pada zaman Soeharto masih tabu.

Menurut Massardi, Indo Barometer seharusnya melakukan survei yang membandingkan kemajuan Indonesia dengan negara lain. Bukan survei yang membandingkan masa kini dan masa lalu Indonesia. Hal ini lebih penting guna memberikan dorongan kepada pemerintah untuk berbuat lebih baik.

“Dengan buruknya pemerintahan masa kini, seharusnya survei itu mengacu pada keberhasilan negara Singapura, Malaysia, atau Cina. Lalu, bagaimana caranya agar bisa seperti negara itu. Bukan membandingkan dengan zaman Soeharto,” harap dia.

Namun begitu, Massardi meyakini hasil survei yang mengejutkan itu merupakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap Presiden SBY. Apalagi, kegagalan demi kegagalan pemerintah saat ini sudah dapat terukur dengan nyata. Sebaliknya, keberhasilan Soeharto hanya didasarkan pada persepsi masyarakat belaka.

“Kegagalan pemerintahan sekarang ini sudah bisa diukur dengan berbagai indikasi, yang dilengkapi dengan angka-angka. Misalnya, kesejahteraan masyarakat semakin merosot, pengusutan pelanggaran HAM yang tidak tuntas, dan KKN yang semakin merajelala. Sedangkan keberhasilan Soeharto hanya diukur berdasarkan persepsi, yang tidak disertai indikator yang nyata,” papar mantan juru bicara Presiden Gus Dur ini.

Terkait rendahnya kerinduan masyarakat Indonesia terhadap sosok Gus Dur juga menjadi perhatian Massardi. Padahal, era Gus Dur boleh disebut monumental karena berhasil mendobrak kebuntuan keberagaman di Indonesia. Sedangkan di militer, Gus Dur adalah presiden pertama yang memungkinkan rotasi jabatan Panglima TNI.

Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=26060

Tidak ada komentar:

Posting Komentar