Kamis, 21 Juli 2011

Hukuman Mati Koruptor, Langkah Mundur?

Sepintas, wacana hukuman mati bagi koruptor seperti yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD cukup ampuh untuk menekan tingkat korupsi. Tak seorang pun tentunya yang ingin mengakhiri hidupnya di tiang gantungan atau diberondong regu penembak, utamanya mereka para koruptor.

KECUALI teroris yang memang sudah didoktrin untuk siap mati, hukuman mati sepertinya masih menempati urutan yang cukup angker. Sederhananya, tingkat korupsi diyakini akan berkurang drastis jika hukuman yang menanti adalah hukuman mati.

Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Mengganjar hukuman mati bagi siapa saja yang terbukti secara hukum melakukan praktik korupsi belum tentu akan mengurangi niat para pelaku korup mengambil yang bukan haknya. Kalaupun manjur, tetapi cara ini dinilai tidak terlalu berpengaruh signifikan, bahkan cenderung lebih rumit.

Meski terdengar seram bagi koruptor, nyatanya LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) justru menentang wacana itu yang kini sudah ada di draft Rancangan Undang undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Hukuman mati bagi KontraS tidak akan ampuh mengurangi peringkat indeks persepsi korupsi. Kordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar menguraikan, satu-satunya negara yang masih menerapkan hukuman mati bagi koruptor adalah Cina. Namun faktanya, peringkat indeks persepsi korupsi di negeri itu terus menurun tiap tahunnya.

“Hukuman mati yang diterapkan oleh Cina tidak berpengaruh signifikan terhadap peringkat indeks persepsi korupsi negara tersebut. Malahan, peringkatnya cenderung menurun setiap tahunnya,” ucap Haris, melalui siaran persnya yang diterima Monitor Indonesia, Kamis (21/7/2011).

Menurut dia, berdasarkan data yang dilansir LSM Transparency International (Oktober 2010), indeks persepsi korupsi di Cina menempati urutan yang ke-72 pada 2008, ke-79 di tahun 2009, sedangkan pada 2010 menempati urutan ke-78.

“Bandingkan dengan peringkatnya di tahun 2001 (57), 2002 (59) dan 2003 (ke 66). Sedangkan posisi Indonesia berada di peringkat ke-111 pada 2010, dan ke 110 pada 2009. Menurun jauh dari tahun 2001 (ke-88) dan 2002 (ke-96),” terang Hariz.

Karenanya, KontraS meminta Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, agar mencabut kembali pencantuman hukuman mati di draft RUU Tipikor. Dikatakan Hariz, selain tidak menghormati hak untuk hidup yang dijamin konstitusi, hukuman mati juga tidak tepat, karena terbukti tidak menimbulkan efek jera serta berpotensi menghambat proses penarikan koruptor beserta aset dari luar negeri.

“Ini adalah langkah mundur yang ditempuh pemerintah mengingat hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Selain itu langkah ini juga kontra produktif untuk membawa balik para koruptor di luar negeri dan mengembalikan aset korupsi kepada negara,” cetus Hariz.

Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.


Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=39999 
http://monitorindonesia.com/?p=39994 
http://monitorindonesia.com/?p=40004 
http://monitorindonesia.com/?p=40015 
http://monitorindonesia.com/?p=40020 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar