Kamis, 06 Oktober 2011

Komite Etik Membersihkan KPK Tanpa Sanksi

Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai cenderung berhasrat untuk menyelamatkan pimpinan KPK, karena tidak bersikap tegas terhadap semua bentuk pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan komisi itu. Padahal, sekecil apa pun pelanggaran etik semestinya diberi sanksi demi menjaga integritas lembaga tersebut.




 

“KEPUTUSAN Komite Etik telah menciptakan preseden buruk bagi KPK pada masa mendatang karena pertemuan pimpinan lembaga itu dengan sejumlah pihak, termasuk petinggi partai politik yang kadernya diduga bermasalah, dianggap bukan pelanggaran,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi.

Pendapat tersebut disampaikan Hendardi, menanggapi kesimpulan Komite Etik KPK yang antara lain menyatakan bahwa Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Haryono Umar tidak bersalah meski ada tiga dari tujuh hakim yang memberikan pendapat berbeda.

Sebagaimana diberitakan, Komite Etik KPK memutuskan bahwa Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekjen KPK Bambang Praptono Sunu telah melanggar etika ringan. Adapun Chandra M Hamzah dan Haryono Umar dianggap tidak bersalah.

Hendardi mengungkapkan, sebagaimana keterangan petinggi Demokrat yang diperiksa, Chandra telah bertemu dengan M Nazaruddin. Namun, hal itu justru diabaikan oleh Komite Etik, bahkan dianggap bukan pelanggaran etik. Chandra hanya dinasihati agar berhati-hati. Hal serupa juga diterapkan kepada Haryono Umar.

“Padahal, Pasal 36 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, ‘Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun’,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Hendardi, dalam Pasal 65 undang-undang itu disebutkan, setiap anggota KPK yang melanggar Pasal 36 di atas, dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. “Artinya, dalam konstruksi Undang-Undang KPK, ‘pertemuan’ semacam itu adalah tindak pidana. Perlu diingat, perkara korupsi tidak selalu menyangkut diri pihak yang bertemu, tetapi dapat berarti membicarakan dan dealing perkara yang melilit kader-kader partainya,” tukasnya.

Oleh karena itu, Hendardi menilai, produk Komite Etik KPK justru bisa menciptakan preseden buruk bagi penguatan integritas KPK. Para pimpinan KPK dianggap sah untuk bertemu dengan pihak-pihak, termasuk petinggi partai politik yang kader-kadernya diduga terlibat perkara korupsi.

“Komite Etik, yang sejak awal diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik pada KPK, justru semakin memperkuat dugaan publik bahwa Komite Etik hanya ditujukan untuk ‘menyelamatkan’ pimpinan KPK dengan semangat kolektivisme,” katanya.

Pembiaran pelanggaran etik tanpa pertanggungjawaban, kecuali nasihat untuk berhati-hati, kata Hendardi, menunjukkan bahwa kerja Komite Etik tak lebih dari sekadar ‘binatu’ bagi sejumlah pimpinan KPK yang diduga melanggar kode etik.

Sementara Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan, ada pertanyaan besar terkait hasil putusan Komite Etik KPK. Menurut Ray, agak sulit untuk memastikan kebenaran ada atau tidaknya pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan KPK.

“Apakah sepenuhnya kesimpulan komite etik itu adalah memang benar apa adanya? Di situlah pertanyaan besarnya. Tentu kita tak tahu benar soal ini. Apakah penyelidikan itu didekati dengan pendekatan hukum formal pidana di mana fakta-fakta hukum menjadi acuannya, atau memang dasarnya bukan itu?” kata Ray, Kamis (6/10/2011).

Dikatakan Ray, jika berdasarkan penyelidikan komite etik maka keputusannya memang tidak ada pelanggaran. Hal tersebut berarti dapat dikatakan, tudingan mantan bendahara umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, tidak benar dan hanya membuat tudingan itu sekedar semacam penekanan kepada KPK untuk tidak berlaku secara dalam.

Namun, jika didasarkan pada etika, lanjut Ray, pertanyaan besarnya lagi yakni etika mana yang memperkenankan seorang komisioner KPK dapat bertemu dengan seseorang dalam pertemuan-pertemuan yang terlihat istimewa.

“Tapi, lagi-lagi yang perlu kita ingat bahwa tujuan komite etik itu hanya membuktikan ada tidaknya tindakan yang menyalahi kode etik KPK. Tetapi jika mendekati kasus ini dari aspek legal formal maka akan sulit untuk mengungkapkan kasusnya,” katanya.

Lebih lanjut, Ray meminta agar KPK dapat mengambil pelajaran dari putusan Komite Etik. Menurutnya, sebagai lembaga anti-korupsi yang masih dipercaya publik, KPK harus menunjukan kredibilitasnya dan jangan terjebak pada perilaku atau filosofi seperti lembaga-lembaga lainnya.

“Yaitu perilaku lembaga-lembaga yang memiliki sikap lemah lembut terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang internalnya. Sikap ini hanya akan menjatuhkan kita pada apatisme terhadap pemberantasan korupsi dan pelemahan terhadap persepsi masyarakat atas kebersihan KPK,” tegas Ray.

Indra Maliara
http://monitorindonesia.com/?p=52702
http://monitorindonesia.com/?p=52688
http://monitorindonesia.com/?p=52695
http://monitorindonesia.com/?p=52694
http://monitorindonesia.com/?p=52697