Selasa, 29 November 2011

Selesaikan Persoalan Papua dari Hati ke Hati

Persoalan Papua sudah masuk ke tahap kritis. Jika kondisi ini terus dibiarkan, berpisahnya Papua dari Ibu Pertiwi hanya tinggal menunggu waktu. Padahal, konflik yang melanda Papua sangat berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan rakyat. Singkatnya, pendekatan dari hati ke hati adalah kunci utamanya.


BUMI Papua butuh perhatian ekstra pemerintah pusat. Sebagai wilayah paling timur Indonesia, Papua selama ini dikenal mengalami ketertinggalan dari daerah lainnya di Nusantara. Masyarakat di sana belum bisa disebut sejahtera kendati di bawah tanahnya terdapat kekayaan yang luar biasa. Ke depan, pemerintah perlu merumuskan kesejahteraan rakyat Papua dengan pendekatan pembangunan melalui kebijakan agar tercapainya solusi tepat atas ketidakadilan yang berlangsung lama ini.

“Akar permasalahan Papua harus digali mendalam, agar membuka ruang dialog yang semakin intens ke arah pencapaian reformulasi strategi dan pembangunan yang berkeadilan untuk Papua,” ujar Ketua Dewan Direktur Sabang-Marauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan.

Hal ini dikemukakan Syahganda dalam seminar nasional bertajuk “Reformasi Strategis Pembangunan yang Berkeadilan di Papua di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (29/11/2011).

Menurut Syahganda, pemerintah pusat dari tahun ke tahun mengidap kelambanan dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat Papua, yang berdampak munculnya ketidakpuasaan warga Papua hingga kini. “Bisa dikatakan pemerintah tidak melaksanakan asas demokrasi untuk menerapkan pembangunan di Papua,” ujarnya.

Syahganda menambahkan, pembangunan Papua meski telah diikuti perjalanan sepuluh tahun Undang-undang No 21/2011 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, ternyata tidak menyelesaikan kemelut dan harapan keadilan rakyat Papua. Sebaliknya, konflik terus berjalan tetapi tidak direspon pemerintah dengan agenda pembangunan yang mampu menyentuh permasalahan pokok.

“Inilah akibat rangkaian konflik dan pemicu utama tidak mampu dijawab dengan cepat dan tepat oleh pemerintah. Dengan demikian pembangunan yang direncanakan pemerintah tak pernah melahirkan kenyamanan, apalagi kemenangan rakyat Papua,” tuturnya.

Syahganda menilai kehadiran pihak asing seperti Freeport yang menikmati kekayaan Papua, justru dibiarkan mendapatkan kemewahan tanpa menawarkan kemudahan pada hajat hidup orang Papua.


Seminar bulanan SMC ini dihadiri Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo, Ketua Fraksi-PAN DPR RI Tjatur Sapto Edi, Dekan FISIP UI Bambang Shergi Laksmono.


Sebelumnya, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mengajukan pembentukan daerah otonomi baru sebanyak 54 daerah. Jumlah itu terdiri dari tujuh provinsi, 43 kabupaten, dan empat kota. “Kami mendapat permohonan 54 daerah otonomi baru,” ujar Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat rapat kerja (raker) dengan Tim Monitoring Papua dan Papua Barat di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (25/11/2011).

Dikatakan Gamawan, pihaknya belum menindaklanjuti permohonan pembentukan daerah otonom baru tersebut. Namun yang pasti, permohonan akan dibahas terlebih dulu bersama DPR. Saat ini, Gamawan menjelaskan, Kemendagri baru berupaya mengkaji 43 kabupaten.

Gamawan juga menyampaikan untuk meningkatkan kualitas pegawai negeri di Papua, Kemendagri membuka peluang bagi putra-putri Papua untuk magang setahun di Kemendagri.

Mendagri juga berusaha agar putra-putri Papua diberi kesempatan magang di instansi pemerintahan di provinsi lain. “Akan diusahakan magang di provinsi lain. Ini akan mempercepat berkembangnya wawasan, kompetensi, dan kemampuan lain,” terang Gamawan.

Ishak H Pardosi

http://monitorindonesia.com/2011/11/29/selesaikan-persoalan-papua-dari-hati-ke-hati/ 

Menggugat Hipotesis Peradaban Baru Orang Batak

Ada hipotesis yang cukup menggelitik; orang Batak yang berasal dari pedalaman cenderung tidak sanggup bersaing dengan mereka yang berasal dari perlintasan emas Tapanuli. Jika ditelisik lebih mendalam, lahirnya sebuah peradaban baru adalah penyebabnya. Kini, setelah era otonomi daerah bergelora, masihkah hipotesis itu relevan?

                                                                                                                                                               Ishak H Pardosi

Tiga potong kue, semangkuk jus jeruk plus alunan musik lembut mendayu di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan. Sore itu, saya akhirnya bisa bertatap muka dengan salah satu putra terbaik Batak, yang kini sedikit terlihat renta. Ya, membuat janji sepakat untuk bertemu muka dengan pria ini memang gampang-gampang susah. Dibalut jas coklat lengkap dengan topi koboi, ia memulai perbincangan di sebuah meja berbalut kain putih, di sebelah kanan pintu masuk hotel yang tidak terlalu mentereng itu.

Ihwal pertemuan itu sendiri, sebenarnya karena saya ingin memintai analisis dan pengamatannya soal maraknya aksi teror di Tanah Air, belakangan ini. Sebagai veteran di dunia intelijen formal, DR AC Manullang memang dikenal tahu banyak seluk-beluk spionase. Sehingga, ia acapkali dimintai komentar oleh awak media massa.

Meski sudah cukup lama meninggalkan dunia intelijen formal, AC Manullang ternyata masih mampu mengendus pihak mana saja yang berupaya menciptakan kerusuhan di Indonesia. Sedikit bocoran dari Manullang, rangkaian teror yang melanda Indonesia memang sengaja diciptakan demi kepentingan ekonomi pihak Barat. Sedangkan motif ideologi atau agama yang sering disebut sebagai alasan di balik teror itu, hanyalah topeng untuk mengaburkan pemahaman publik.

Harus diakui, AC Manullang adalah seorang dedengkot yang dikenal piawai tentang seluk-beluk spionase. Apalagi, karirnya semasa di intelijen cukup meyakinkan pengetahuannya itu. Terakhir, ia menjabat sebagai salah satu direktur di BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) sebelum berubah nama menjadi BIN (Badan Intelijen Negara).

Namun, bukan analisis soal bagaimana teroris beraksi di Indonesia yang membuat saya semakin penasaran. Bukan pula soal misteri intelijen yang sepertinya sering tidak masuk akal. Akan tetapi, ada hal menarik dari “Si Ompung” demikian ia biasa disapa, yang membuat akal logika saya sedikit terguncang.

Dikatakan Manullang, bibit unggul orang Batak yang dibuktikan dengan banyaknya putra-putri Batak yang cukup sukses di negeri ini, sebenarnya tidak datang begitu saja. Akan tetapi, pencapaian itu tumbuh secara perlahan sebagai akibat dari kerasnya perjuangan kehidupan di bumi Tapanuli. Tanah yang kurang subur ditambah metode pertanian yang tradisional, minimnya lapangan pekerjaan, serta masih sulitnya akses ke daerah lain memaksa orang Batak terdahulu berjibaku untuk keluar dari kesengsaraan itu. Tidak ada pilihan lain kecuali melakukan migrasi ke daerah lain yang lebih maju. Itulah awal diaspora orang Batak ke wilayah luar, seperti halnya langkah Yahudi zaman dulu.

Tak perlu waktu lama, orang Batak dengan mudahnya bisa ditemukan di setiap sudut Nusantara, di samping terus menjelajah ke mancanegara. Hebatnya lagi, orang Batak bukan sekadar berpencar tanpa hasil. Diyakini, karena diawali tekad ingin mengubah ritme kehidupan, secara sporadis pula orang Batak akhirnya berhasil menuai kesuksesan. Dalam beberapa dekade saja, Batak berubah menjadi salah satu suku yang disegani di Republik, paling tidak untuk sampai saat ini.

Sampai di sini, paparan Manullang masih sama dengan apa yang di pikiran saya sebelumnya. Dari berbagai pengalaman dan banyaknya literatur mengenai seluk-beluk kesuksesan orang Batak, apa yang dikatakan Manullang di atas, tidak ada yang terlalu istimewa.

Suara musik mendayu masih berlanjut. Ia masih setia dengan tutur katanya yang meledak-ledak, sesekali tertawa terbahak. Manullang kembali melanjutkan paparannya. Kata Manullang, orang Batak yang berasal dari daerah Tapanuli pedalaman akan sulit bersaing dengan orang Batak yang berasal dari daerah Tapanuli yang telah bersinggungan dengan budaya dari luar.

“Dalam hal kemajuan berpikir yang selanjutnya mempengaruhi tingkat kesuksesan, orang Habinsaran tidak akan mungkin bisa mengalahkan orang Balige, misalnya. Begitu juga dengan daerah lainnya,” seru Manullang mendeskripsikan dua daerah yang berbeda.

Saya harus menghela nafas sejenak. Jujur saja, saya cukup terkejut dengan komentar itu. Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi. Bukankah orang Batak di Habinsaran sama dengan orang Batak di Balige? “Pada dasarnya, keduanya adalah sama, yang membedakan adalah di Habinsaran itu tidak ada peradaban baru yang lahir, sedangkan di Balige itu jelas ada,” jawab Manullang.

Hadirnya sebuah peradaban baru merupakan jawaban kenapa seseorang atau sebuah komunitas bisa menjadi lebih maju. Membandingkan Habinsaran dengan Balige, dalam hal peradaban baru tentulah sangat jauh berbeda. Di Habinsaran, hampir tidak ada peradaban baru, berbeda dengan Balige yang sejak lama sudah disinggahi peradaban baru.

Masih kata Manullang, peradaban baru merupakan hasil dari percampuran budaya asli dengan budaya yang datang dari luar. Dengan adanya percampuran itu, selanjutnya akan melahirkan budaya baru yang lebih modern. Dengan kata lain, perjumpaan antara masyarakat Balige dengan masyarakat luar Balige, pelan-pelan akan melahirkan pemikiran dan kemajuan baru.

Sampai di sini, saya harus menyerah dan manggut-manggut saja. Sepintas, pemikiran Manullang ini ada benarnya. Buktinya, orang Batak yang saat ini mampu berkiprah di tingkat nasional, mayoritas berasal dari lintasan ‘emas’ Tapanuli. Mereka rata-rata berasal dari kawasan Tarutung, Balige, Samosir, Porsea, maupun Siantar. Kalaupun ada yang berasal dari daerah pedalaman Tapanuli seperti Habinsaran, jumlahnya memang bisa dihitung jari. Itu pun sebenarnya belum bisa disebut mampu merebut tempat di tingkat nasional.

Namun, hipotesis yang agaknya sudah mendekati kebenaran milik AC Manullang itu, kemungkinan besar akan gugur, paling lama dua puluh tahun mendatang. Ini menurut saya. Otonomi daerah yang kini menggelora di seluruh Indonesia, termasuk di kawasan Tapanuli adalah alasan utamanya.

Kita tentu sepakat, relevansi antara otonomi daerah dengan peradaban baru sangatlah kuat. Pembangunan kawasan Tapanuli, seperti Kecamatan Habinsaran di Kabupaten Tobasa merupakan indikator utamanya. Sejak otonomi daerah bergulir 1999 lalu, Habinsaran yang dulu dikenal tertinggal, saat ini boleh sedikit dibanggakan. Denyut pembangunan di berbagai sektor kehidupan senantiasa berkembang. Saat ini, sudah cukup banyak orang di luar Habinsaran yang mempunyai kepentingan dan harus bersinggungan dengan daerah ini. Otomatis, sebagaimana analisis AC Manullang, peradaban baru di bumi Habinsaran sebenarnya sudah terlahir. Di luar Habinsaran, saya meyakini hal yang sama juga sedang terjadi. Bahkan, mungkin lebih dahsyat.

Saya juga percaya, DR AC Manullang tidak akan keberatan apabila hipotesis miliknya akan segera berakhir, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Tanpa kecuali, seluruh kawasan Tapanuli nantinya akan bisa maju bersama-sama, membangun sekaligus mengabdi hanya untuk negeri tercinta. Selamat datang peradaban baru.

Tulisan ini dimuat di Majalah HORAS edisi 145, 1-20 Desember 2011

Minggu, 27 November 2011

Letkol Mar FJH Pardosi, Prajurit Marinir dari Parsoburan sampai Timur Tengah

Letnan Kolonel Freddy Jhon Hamonangan Pardosi adalah salah satu prajurit terbaik yang dimiliki Korps Marinir saat ini. FJH Pardosi, begitu dia biasa disapa, adalah sosok yang tenang, berwibawa, dan berkharisma. Dia tidak mengenal istilah tedeng aling-aling. Sebaliknya, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian kuat. Singkatnya, penampilan FJH Pardosi sebagai perwira marinir ditambah nada bicaranya yang tegas sudah cukup mewakili dirinya sebagai pribadi yang dihormati dan disegani.

FJH Pardosi layak disebut seorang prajurit marinir tulen. Motto ‘sekali menjadi prajurit marinir, selamanya marinir’ menjadi pengikat jiwanya dengan Korps Marinir. Kebanggaan, jiwa korsa, dan naluri tempur, adalah nafas bagi prajurit Baret Ungu ini. Kecekatan dan kemampuan yang dia miliki selanjutnya menjelma dalam segudang kiprah dan pengalamannya selama bertugas sebagai perwira militer di Korps Marinir. Sejak resmi menyandang predikat prajurit marinir pada 1994, rekor terjun langsung ke sejumlah operasi yang dimiliki FJH Pardosi jelas sudah melampaui hitungan jari.

Namun, dari sekian banyak penugasan yang dijalani, FJH Pardosi amat terkesan ketika dipercaya untuk bergabung dengan Satgas Tempur di Nanggrou Aceh Darussalam, beberapa waktu lalu. Mendapat kepercayaan dari negara untuk melaksanakan Pengamanan Pulau Terluar Wilayah NKRI di Kepulauan Natuna juga membuat jiwa kepemimpinan FJH Pardosi semakin terasah. Dalam operasi pembebasan sandera Kapal Motor (KM) Sinar Kudus yang disandera perompak Somalia pertengahan Maret lalu, juga merupakan hasil kerja keras pasukan marinir dimana FJH Pardosi ikut ambil bagian dalam misi tersebut.

Korps Marinir memang dikenal sebagai pasukan yang memiliki kemampuan tempur di tiga media sekaligus yakni di darat, di laut, maupun di udara. Namun, prajurit marinir juga meyakini, profesionalisme yang tinggi hanya dapat dicapai jika prajurit Korps Marinir memiliki kebanggaan, jiwa korsa dan naluri tempur yang kuat.


Memimpin Pasukan Garuda ke Libanon

Kenyang berbagai penugasan yang dipercayakan negara kepadanya, tidak lantas menjadikan FJH Pardosi berpuas diri. Bagi dia, terjun langsung mengemban misi yang diletakkan di pundaknya mesti diselesaikan dengan penuh rasa tanggungjawab. Tidak peduli apapun risikonya. Terkini, perwira marinir ini kembali dipercaya negara untuk memimpin Pasukan Garuda di Lebanon, Timur Tengah, dalam misi perdamaian PBB. Pasukan berjumlah 1300 personil direncanakan akan berangkat mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional pada akhir 2011 ini.

“Ini tugas yang cukup menantang. Namun, sebagai prajurit Marinir, penugasan ini merupakan kehormatan yang bernilai istimewa bagi saya,” tegas FJH Pardosi saat berbincang dengan HORAS di ruangannya di Markas Brigade Infantri (Brigif) II Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan, awal pekan lalu.

Di Brigif II Marinir, FJH Pardosi dipercaya sebagai Komandan Batalyon Infantri 4 Marinir, yang memiliki fungsi dan kemampuan sebagai Batalyon Tim Pendarat Korps Marinir dalam melaksanakan Operasi Pendaratan Amfibi. Dia menempati posisi ini usai mengemban tugas sebagai Komandan Batalyon Marinir Pertahanan Lantamal IV (Yonmarharlan IV), Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna, akhir tahun lalu.

Dipercaya negara untuk memimpin Pasukan Garuda tentu saja membuat FJH Pardosi semakin terpacu untuk memberikan yang terbaik bagi Ibu Pertiwi. Menurut dia, ikut serta dalam misi perdamaian dunia mesti dilandasi semangat dan kecintaan terhadap Tanah Air terlebih dulu.

“Saya ingin Merah Putih semakin berkibar di Libanon, sebagai salah satu negara yang turut bertugas menjaga perdamaian di sana. Saya yakin, pengalaman selama menjaga perdamaian dan kedaulatan Indonesia adalah modal yang lebih dari cukup untuk mewujudkan itu,” tukas pria jebolan AKABRI 1994 ini.

Perwira yang memiliki semangat luar biasa ini berharap, penugasannya ke Libanon akan menjadikan dirinya semakin matang memimpin pasukan militer, sekaligus membuat nama besar Korps Marinir semakin harum. Ke depan, ayah empat anak ini optimis, segudang pengalaman yang dimiliki akan mengubah dirinya menjadi sosok yang penuh tanggungjawab dan berdedikasi tinggi untuk negara.

“Mempersembahkan yang terbaik untuk negara merupakan impian saya sebagai prajurit Marinir. Penugasan oleh negara ke berbagai medan, adalah kebanggaan yang tidak ternilai,” tukas FJH Pardosi.


Sepenuh Bakti untuk Korps Marinir

FJH Pardosi lahir di Balige, Sumatera Utara, 14 Desember 1971. Dia menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di kampung halamannya di Parsoburan, Habinsaran, sekira 40 kilometer dari Balige. Sejak kecil, bakat memimpin FJH Pardosi memang sudah terbentuk. Faktor kuatnya disiplin dalam keluarga plus pendidikan sekolah yang tergolong keras, adalah hal lain yang semakin menguatkan karakter yang ia miliki.

Si Anak Kampung ini selanjutnya meninggalkan kampung halaman yang ia amat cintai pada 1991. Kala itu, niat dan tekadnya sudah bulat untuk mengabdi kepada Nusa dan Bangsa. “Sejak anak-anak, saya memang bercita-cita menjadi seorang tentara. Kelihatannya gagah dan berani,” kenang dia.

Impiannya untuk membaktikan diri kepada Merah Putih diawali dengan kelulusannya di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) pada 1991. “Diterima di AKABRI Laut otomatis membuat alur kehidupan saya berubah total. Harus menyesuaikan diri dengan disiplin militer,” tutur FJH Pardosi.

Menempuh pendidikan selama tiga tahun sebagai taruna militer dengan kejuruan marinir, FJH Pardosi lulus pada 1994 dengan pangkat Letnan Dua. Resmi menyandang sebagai perwira marinir, FJH Pardosi langsung dipercaya menjadi Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Marinir. “Mendapat penugasan pertama sebagai komandan peleton, adalah kenangan yang cukup mengesankan bagi saya,” katanya.

Berturut-turut, suami dari Christina Romauli C. Siboro S.Sos ini selanjutnya mengikuti berbagai pendidikan militer selain dipercaya menempati sederet jabatan di lingkungan Korps Marinir. “Kenyang pengalaman di berbagai macam penugasan bagi saya adalah pelajaran yang sangat berharga. Bersyukur juga karena keluarga selalu mendukung dan memompa semangat, kemanapun saya ditempatkan,” kata FJH Pardosi.

Terakhir, ayah dari Virgie Samantha Parsaulian Pardosi, Chelsea Maria Nauli Pardosi, Ralph Samuel Habinsaran Pardosi, dan Jonathan Mathew Hatorangan Pardosi, ini mengikuti Pendidikan Seskoal pada tahun 2009. Selain mengikuti pendidikan militer, saat ini dia tengah menyelesaikan pendidikan di salah satu universitas di Jakarta. “Ilmu dan pengalaman memang harus berjalan beriringan. Niscaya, dengan modal tersebut, suatu saat nanti saya bisa menjadi lebih berguna bagi Nusa dan Bangsa,” seru FJP Pardosi, optimis.


Ikuti Naluri, Latih Kemampuan, Cari Kelebihan, Kembangkan!

Ada hal menarik yang layak ditiru para generasi muda dari sosok FJH Pardosi. Dia meyakini, ritme kehidupan yang terus berputar seyogianya dilandasi falsafah kuat untuk dijadikan sebagai pedoman. Mengikuti naluri, mengembangkan kemampuan, mencari kelebihan, serta mengembangkan potensi diri tersebut adalah kata kunci mencapai kesuksesan.

Dia memaparkan, karena hidup adalah perjuangan tanpa henti, kesuksesan juga ditentukan kemauan untuk mengikuti naluri tanpa ragu. Tentu saja, sosok yang ingin maju adalah mereka yang memiliki naluri yang baik dan sudah dilatih melalui pengalaman sebanyak mungkin dan menjadikannya pelajaran yang berharga.

“Ikuti Naluri, Latih Kemampuan, Cari Kelebihan, Kembangkan!” merupakan falsafah hidup yang dipegang teguh FJH Pardosi. “Kita harus melatih kemampuan yang kita miliki. Karena kemampuan itu bagaikan pisau yang akan tumpul dan berkarat jika tidak diasah dan digunakan secara terus menerus. Artinya, senantiasa memacu kelebihan dan potensi diri adalah bekal utama menuju kehidupan yang lebih baik. Try The Best, Do The Best, Always The Best,” pesan dia.

FJH Pardosi, Putera Habinsaran yang akan menjalankan tugas negara ke Libanon, Timur Tengah, juga sangat memaknai salah satu umpasa Batak yang berbunyi Napuran Tano-Tano, Rangging Ma Siranggongan. Dagingta Padao-Dao, Tondinta Ma Sigomgoman. “Sebagai prajurit marinir yang siap ditugaskan negara kemanapun, saya mewujudkan umpasa itu sebagai pegangan keterikatan batin dengan seluruh keluarga tercinta, termasuk Korps Marinir,” tuntas FJH Pardosi. IHP

Terbit di Majalah HORAS, edisi 145, 1-20 Desember 2011