Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD) M Nazaruddin dalam sederet kesaksiannya menuduh elit partai besutan SBY ikut bermain dalam sejumlah proyek BUMN. Dimenangkannya PT Adhi Karya sebagai kontraktor pada proyek Hambalang, menurut Nazaruddin, adalah salah satu bukti keterlibatan elit Demokrat di proyek pemerintah. Ketua Umum PD Anas Urbaningrum oleh Nazaruddin menerima komisi sebesar Rp 100 milyar dari proyek itu.
MAIN mata antara elit partai politik terutama PD sebagai partai penguasa dengan sejumlah perusahaan BUMN ternyata sudah cukup lama terjadi. Modusnya cukup sederhana, yakni dengan membantu salah satu perusahaan untuk mendapatkan proyek dari perusahaan BUMN. Selain itu, elit Demokrat juga diduga menjadi broker alias perantara bagi perusahaan swasta untuk mendapatkan pinjaman dari bank pelat merah.
Ketua Presidium Forum Serikat Pekerja BUMN Bersatu FX Arief Poyuono mengungkapkan, saat ini terdapat banyak kader Demokrat yang ikut bermain dalam sejumlah proyek BUMN. Salah satu contohnya adalah kontrak kerja antara PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) dengan PT Pertamina (Persero).
“TPPI seharusnya membayar kepada Pertamina. Tapi karena TPPI ini dibantu oleh Nazaruddin dan kader Demokrat lain berinisial MA, maka pembayaran tidak sepenuhnya kepada Pertamina. Akhirnya menjadi semacam joint venture. Akibatnya, dalam hal ini negara dirugikan sebesar 61 juta dolar AS,” ungkap Arief Poyuono kepada Monitor Indonesia, Senin (25/7/2011).
Gilanya lagi, sambung Arief, TPPI juga mendapatkan pinjaman dari salah satu bank BUMN sebesar 600 juta dolar AS. Jadi, selain bermain di tender proyek BUMN, Nazaruddin dan MA juga menjadi broker masalah di BUMN. Misalnya, jika salah satu perusahaan swasta berutang dengan BUMN, supaya tidak dieksekusi, maka mereka bermain dan akhirnya mendapatkan fee.
Selain TPPI, sambung Arief, di Pertamina juga ada mafia pengimpor BBM (Bahan Bakar Minyak) yang juga melibatkan elit-elit Demokrat. Modus operandinya cukup sederhana, yakni mengusulkan sebuah perusahaan suplier yang mengimpor BBM kepada Pertamina.
“Mereka biasanya dapat satu dolar AS per satu barel. Kalau mereka mengimpor BBM satu juta barel per hari, itu artinya mereka mendapat fee sebesar 1 juta dolar AS per hari,” kata dia menguraikan. Selain di Pertamina, para elit Demokrat juga ditengarai ikut terlibat dalam sejumlah proyek BUMN. Salah satu perusahaan pelat merah yang kerap menjadi sapi perahan ‘gurita Demokrat’ adalah PT Telkom.
“Apalagi di Telkom, karena pengangkatan direksi Telkom itu tidak sepenuhnya wewenang Menneg BUMN langsung. Untuk posisi Direktur Utama, itu kan langsung wewenang presiden. Jadi tidak heran kalau elit Demokrat banyak yang memanfaatkan itu. Ini sangat jelas. Apalagi mereka partai berkuasa,” kata Arief. Sedangkan untuk sektor perkebunan, sambung Arief, elit Demokrat biasanya bermain dalam proses suplier pupuk atau broker produk perkebunan tersebut.
“Apalagi saat ini direksi perusahaan perkebunan saat ini dikuasai kader-kader Demokrat,” bebernya. Namun, keterlibatan elit Demokrat di sejumlah proyek BUMN juga tidak terlepas dari adanya kerjasama direksi perusahaan BUMN tersebut. Jika tidak, direksi BUMN biasanya akan menuruti apa saja permintaan elit Demokrat, karena khawatir akan dicopot jabatannya.
“Direksi BUMN tidak mampu melawan, karena ditakut-takuti akan diganti atau karena direksi sudah kongkalikong dengan elit partai. Atau, mereka sebelumnya sudah ada deal dengan elit untuk menjadi pejabat. Itu modus yang sudah lama dilakukan,” ujar Arief.
Ditanya soal bagaimana cara mengatasi agar kejadian serupa tidak terjadi di masa mendatang, Arief mengusulkan agar Presiden SBY dan KPK lebih terbuka dan mampu melakukan kontrol yang lebih baik.
“Cara pencegahan gampang saja, tinggal bagaimana SBY bisa berubah dan KPK bisa kontrol lebih bagus. Misalnya, Nazaruddin sudah menuduh Chandra Hamzah terlibat. Sekarang berani tidak Chandra sumpah pocong?” tantang Arief.
Sementara itu, elit PD yang berinisial MA sebagaimana diungkapkan Arief, berdasarkan catatan Monitor Indonesia, adalah Marzuki Alie. Namun, Marzuki yang juga Ketua DPR ini membantah semua tudingan yang dialamatkan Arief Poyuono. Ditegaskan Marzuki, dirinya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan kontrak kerja antara Pertamina dengan TPPI. Termasuk membantah keterlibatannya dalam proses peminjaman senilai 600 juta dolar AS dari salah satu bank pelat merah untuk TPPI.
“Berita apalagi ini. Saya tidak ikut-ikut urusan begini. Kalau saya ikut, bagaimana caranya. Lalu di balik siapa? Saya lima tahun sebagai Sekjen PD, dan saat ini dipercaya sebagai Ketua DPR, tidak boleh bersentuhan dengan urusan-urusan yang menyangkut keuangan negara. Insya Allah, saat ini saya masih menjaga amanah itu,” kata Marzuki saat dikonfirmasi Monitor Indonesia, Senin (25/7/2011).
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=40601
http://monitorindonesia.com/?p=40605
http://monitorindonesia.com/?p=40608
http://monitorindonesia.com/?p=40611
http://monitorindonesia.com/?p=40614
MAIN mata antara elit partai politik terutama PD sebagai partai penguasa dengan sejumlah perusahaan BUMN ternyata sudah cukup lama terjadi. Modusnya cukup sederhana, yakni dengan membantu salah satu perusahaan untuk mendapatkan proyek dari perusahaan BUMN. Selain itu, elit Demokrat juga diduga menjadi broker alias perantara bagi perusahaan swasta untuk mendapatkan pinjaman dari bank pelat merah.
Ketua Presidium Forum Serikat Pekerja BUMN Bersatu FX Arief Poyuono mengungkapkan, saat ini terdapat banyak kader Demokrat yang ikut bermain dalam sejumlah proyek BUMN. Salah satu contohnya adalah kontrak kerja antara PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) dengan PT Pertamina (Persero).
“TPPI seharusnya membayar kepada Pertamina. Tapi karena TPPI ini dibantu oleh Nazaruddin dan kader Demokrat lain berinisial MA, maka pembayaran tidak sepenuhnya kepada Pertamina. Akhirnya menjadi semacam joint venture. Akibatnya, dalam hal ini negara dirugikan sebesar 61 juta dolar AS,” ungkap Arief Poyuono kepada Monitor Indonesia, Senin (25/7/2011).
Gilanya lagi, sambung Arief, TPPI juga mendapatkan pinjaman dari salah satu bank BUMN sebesar 600 juta dolar AS. Jadi, selain bermain di tender proyek BUMN, Nazaruddin dan MA juga menjadi broker masalah di BUMN. Misalnya, jika salah satu perusahaan swasta berutang dengan BUMN, supaya tidak dieksekusi, maka mereka bermain dan akhirnya mendapatkan fee.
Selain TPPI, sambung Arief, di Pertamina juga ada mafia pengimpor BBM (Bahan Bakar Minyak) yang juga melibatkan elit-elit Demokrat. Modus operandinya cukup sederhana, yakni mengusulkan sebuah perusahaan suplier yang mengimpor BBM kepada Pertamina.
“Mereka biasanya dapat satu dolar AS per satu barel. Kalau mereka mengimpor BBM satu juta barel per hari, itu artinya mereka mendapat fee sebesar 1 juta dolar AS per hari,” kata dia menguraikan. Selain di Pertamina, para elit Demokrat juga ditengarai ikut terlibat dalam sejumlah proyek BUMN. Salah satu perusahaan pelat merah yang kerap menjadi sapi perahan ‘gurita Demokrat’ adalah PT Telkom.
“Apalagi di Telkom, karena pengangkatan direksi Telkom itu tidak sepenuhnya wewenang Menneg BUMN langsung. Untuk posisi Direktur Utama, itu kan langsung wewenang presiden. Jadi tidak heran kalau elit Demokrat banyak yang memanfaatkan itu. Ini sangat jelas. Apalagi mereka partai berkuasa,” kata Arief. Sedangkan untuk sektor perkebunan, sambung Arief, elit Demokrat biasanya bermain dalam proses suplier pupuk atau broker produk perkebunan tersebut.
“Apalagi saat ini direksi perusahaan perkebunan saat ini dikuasai kader-kader Demokrat,” bebernya. Namun, keterlibatan elit Demokrat di sejumlah proyek BUMN juga tidak terlepas dari adanya kerjasama direksi perusahaan BUMN tersebut. Jika tidak, direksi BUMN biasanya akan menuruti apa saja permintaan elit Demokrat, karena khawatir akan dicopot jabatannya.
“Direksi BUMN tidak mampu melawan, karena ditakut-takuti akan diganti atau karena direksi sudah kongkalikong dengan elit partai. Atau, mereka sebelumnya sudah ada deal dengan elit untuk menjadi pejabat. Itu modus yang sudah lama dilakukan,” ujar Arief.
Ditanya soal bagaimana cara mengatasi agar kejadian serupa tidak terjadi di masa mendatang, Arief mengusulkan agar Presiden SBY dan KPK lebih terbuka dan mampu melakukan kontrol yang lebih baik.
“Cara pencegahan gampang saja, tinggal bagaimana SBY bisa berubah dan KPK bisa kontrol lebih bagus. Misalnya, Nazaruddin sudah menuduh Chandra Hamzah terlibat. Sekarang berani tidak Chandra sumpah pocong?” tantang Arief.
Sementara itu, elit PD yang berinisial MA sebagaimana diungkapkan Arief, berdasarkan catatan Monitor Indonesia, adalah Marzuki Alie. Namun, Marzuki yang juga Ketua DPR ini membantah semua tudingan yang dialamatkan Arief Poyuono. Ditegaskan Marzuki, dirinya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan kontrak kerja antara Pertamina dengan TPPI. Termasuk membantah keterlibatannya dalam proses peminjaman senilai 600 juta dolar AS dari salah satu bank pelat merah untuk TPPI.
“Berita apalagi ini. Saya tidak ikut-ikut urusan begini. Kalau saya ikut, bagaimana caranya. Lalu di balik siapa? Saya lima tahun sebagai Sekjen PD, dan saat ini dipercaya sebagai Ketua DPR, tidak boleh bersentuhan dengan urusan-urusan yang menyangkut keuangan negara. Insya Allah, saat ini saya masih menjaga amanah itu,” kata Marzuki saat dikonfirmasi Monitor Indonesia, Senin (25/7/2011).
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=40601
http://monitorindonesia.com/?p=40605
http://monitorindonesia.com/?p=40608
http://monitorindonesia.com/?p=40611
http://monitorindonesia.com/?p=40614
Tidak ada komentar:
Posting Komentar