Dugaan tindak pidana korupsi di tubuh PT Telkom sebagaimana diungkap LSM Jakarta Development Watch (Jadewa) semakin berkembang. Seperti diberitakan sebelumnya, indikasi korupsi tersebut dilatarbelakangi kebijakan PT Telkom yang melakukan pemasangan jaringan kabel optik dan peralatan (trade in), dimana pengerjaannya diserahkan langsung ke PT INTI.
MENANGGAPI hal ini, Direktur Utama PT Inti Irfan Setiaputra mengungkapkan, penunjukan langsung Telkom kepada PT INTI pada dasarnya dilakukan atas dasar komitmen sekaligus sebagai wujud sinergi antar perusahaan BUMN.
“Yang boleh terlibat di sini adalah mereka yang menjadi pemegang hak dari pemilik teknologi. Kita punya hak lisensi dari pemegang teknologi. Ada beberapa dasar hukum yang bisa mengatur itu,” papar Irfan kepada Monitor Indonesia, Jumat (17/6/2011).
Esensinya, sambung Irfan, adalah adanya inisiatif dari Telkom untuk membangun infrastruktur berbasis broadband dengan menggunakan jaringan fiber. Tapi Telkom kekurangan finansial. “Kemudian melalui diskusi, kami dengan Telkom menawarkan TITO. Sederhananya, proyek tersebut adalah barter antara tembaga dengan fiber optik,” katanya.
Irfan juga membantah ada permainan harga kabel tembaga bekas seperti dituduhkan Jadewa. Menurutnya, berdasarkan kontrak kerja dengan Telkom, harga kabel tembaga tersebut akan dihitung berdasarkan harga pasaran di London Metal Exchange (LME).
“Harga itu sudah mengacu pada kontrak-kontrak yang sudah pernah dilakukan Telkom sebelumnya. Jadi tidak mungkin lebih,” bantah dia.
Dilanjutkan Irfan, kabel tembaga yang tak layak pakai itu kemudian diserahkan kepada PT INTI sebagai imbalan pemasangan fiber optik. Inilah yang kemudian disebut Irfan sebagai komitmen antara Telkom dengan INTI.
“Kami komit untuk beberapa hal, pertama meningkatkan tandingan peralatan yang digunakan dalam jaringan itu. Kedua, membangun industri untuk mendukung proyek tersebut. Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan baru. Jadi, tidak sesederhana adanya penunjukan langsung itu. Tapi ada komitmen di belakang itu,” tambah dia.
Sebelumnya, berdasarkan pantauan dan investigasi LSM Jadewa, terdapat dua kejanggalan dalam pengerjaan proyek tersebut. Pertama, adanya penunjukan langsung PT Telkom ke PT INTI alias tidak melalui tender.
Kedua, harga jual kabel tembaga yang digantikan fiber optik, tidak sesuai dengan harga pasaran internasional di LME. Jika berpatokan dengan harga LME yang berbasis di London, Inggris, harga kabel tembaga tersebut diperkirakan mencapai Rp 6 triliun.
“Untuk penggantian kabel tembaga secara nasional, yang total biayanya ditaksir mencapai Rp 5,7 triliun, ada selisih harga yang cukup besar, yakni antara 30 sampai 40 persen dari harga semestinya. Dan semua proses pengerjaannya melalui penunjukan langsung ke PT INTI,” ungkap Ketua Presidium Jadewa, Nur S. Azhari.
Padahal, Jadewa menilai, PT INTI hanya memakai fiber optik yang berharga 60 persen dari hasil penjualan tembaga berstandar LME. Itu artinya, PT INTI akan mengantongi sisa sebanyak 40 persen.
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=33742
Tidak ada komentar:
Posting Komentar