Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kerap dilekatkan dengan ekonom yang punya otak tokcer. Bekas anak buah Presiden SBY ini, karena otaknya yang cemerlang itu, akhirnya dipercaya untuk menduduki posisi penting di Bank Dunia sebagai Managing Director, tahun lalu. Sejak hijrah ke Amerika Serikat, diakui memang Sri Mulyani tidak pernah memaksakan agenda-agenda lembaga keuangan internasional itu secara langsung untuk dilaksanakan pemerintah Indonesia.
“SECARA langsung mungkin tidak ya. Tapi kita bisa lihat transaksi dengan Bank Dunia dan ADB (Asia Development Bank) terus jalan. Penjualan surat utang kita terus meningkat,” kata pengamat ekonomi Kusfiardi, belum lama ini.
“Itu artinya, ini kan skenario yang sejak lama didesakkan, didorong Bank Dunia terhadap Indonesia seiring dengan keputusan pemerintah membubarkan CGI (Consultative Group on Indonesia),” sambung Kusfiardi.
Mantan Koordinator Koalisi Anti Utang ini menjelaskan, saat pemerintah membubarkan CGI, Bank Dunia sudah mengatakan Indonesia harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan utang-utang dari sumber-sumber yang di luar bantuan dari lembaga keuangan internasional.
“Artinya Indonesia didorong masuk ke sumber-sumber pinjaman yang komersial, melalui surat utang tadi di domestik maupun internasional,” urainya.
Seringkali, penjualan surat utang itu melebihi kuota dalam setiap tahunnya. Sayangnya, semakin membuncitnya penjualan surat utang itu bukanlah sebuah prestasi. Tetapi sebaliknya, itu diakibatkan oleh perencanaan yang amburadul.
“Buruknya perencanaan yang akhirnya membebani anggaran kita. Karena pinjaman itu harus dibayar, utang komersil. Utang komersil ini menguntungkan negara-negara maju dalam menutupi defisitnya. Karena selisih tingkat suku bunganya dengan suku bunga internasional yang berlaku, itu cukup jauh,” tandasnya.
Jadi, katanya berkesimpulan, meski pinjaman Indonesia berkurang, tapi kendali Bank Dunia terhadap Indonesia sama kadarnya.
“Surat utang yang diterbitkan Indonesia itu, dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari tingkat internasional, jelas-jelas akan membebani anggaran negara di masa akan datang. Karena itu para pihak yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan ini harusnya bisa mengevaluasi sebelum ini jadi bencana pada waktunya nanti,” katanya mengingatkan.
Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli mengatakan yang disebut utang, baik di dalam negeri maupun luar negeri, banyak yang dilelang, karena bunganya sangat tinggi.
Padahal, di AS, tingkat suku bunga untuk surat utang negaranya di bawah satu persen, sedangkan di Indonesia mencapai 10 persen, karena itulah, Surat Utang Negara (SUN) Indonesia itu banyak yang memburunya.
Ditanya kenapa pihak asing yang justru menguasai? Rizal mengatakan hal itu terjadi karena memang asing yang memiliki likuiditas. Kedua, lembaga-lembaga keuangan dalam negeri tidak mempunyai alokasi anggaran yang cukup untuk membeli SUN.
“Mereka (asing) itu lebih likuid,” ujar Rizal.
Jika dikaitkan dengan pidato Presiden SBY tentang ‘Nota Keuangan 2012′ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2011) lalu, pendapat Kusfiardi di atas sepertinya tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah Indonesia masih tetap mengandalkan utang luar negeri untuk menstabilkan defisit keuangan. Termasuk untuk menutupi defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang diperkirakan akan mencapai Rp 125,6 triliun atau 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Defisit akan kita jaga dan kendalikan sampai pada tingkat Rp 125,6 triliun atau 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto. Angka ini mengalami penurunan sebesar Rp 25,2 triliun dari proyeksi defisit APBN-P 2011 sebesar Rp 150,8 triliun atau 2,1 persen terhadap PDB,” ungkap Presiden SBY dalam pidato tahunannya.
Menurut SBY, untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah akan menggunakan sumber-sumber dana dari dalam dan luar negeri. “Sumber utama pembiayaan dalam negeri, tetap mengandalkan penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN. Sedangkan dari luar negeri berasal dari pinjaman, baik untuk program maupun proyek,” kata SBY. Jadi, benarkah Sri Mulyani biang kerok hobi ngutang Indonesia?
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=46074
“SECARA langsung mungkin tidak ya. Tapi kita bisa lihat transaksi dengan Bank Dunia dan ADB (Asia Development Bank) terus jalan. Penjualan surat utang kita terus meningkat,” kata pengamat ekonomi Kusfiardi, belum lama ini.
“Itu artinya, ini kan skenario yang sejak lama didesakkan, didorong Bank Dunia terhadap Indonesia seiring dengan keputusan pemerintah membubarkan CGI (Consultative Group on Indonesia),” sambung Kusfiardi.
Mantan Koordinator Koalisi Anti Utang ini menjelaskan, saat pemerintah membubarkan CGI, Bank Dunia sudah mengatakan Indonesia harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan utang-utang dari sumber-sumber yang di luar bantuan dari lembaga keuangan internasional.
“Artinya Indonesia didorong masuk ke sumber-sumber pinjaman yang komersial, melalui surat utang tadi di domestik maupun internasional,” urainya.
Seringkali, penjualan surat utang itu melebihi kuota dalam setiap tahunnya. Sayangnya, semakin membuncitnya penjualan surat utang itu bukanlah sebuah prestasi. Tetapi sebaliknya, itu diakibatkan oleh perencanaan yang amburadul.
“Buruknya perencanaan yang akhirnya membebani anggaran kita. Karena pinjaman itu harus dibayar, utang komersil. Utang komersil ini menguntungkan negara-negara maju dalam menutupi defisitnya. Karena selisih tingkat suku bunganya dengan suku bunga internasional yang berlaku, itu cukup jauh,” tandasnya.
Jadi, katanya berkesimpulan, meski pinjaman Indonesia berkurang, tapi kendali Bank Dunia terhadap Indonesia sama kadarnya.
“Surat utang yang diterbitkan Indonesia itu, dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari tingkat internasional, jelas-jelas akan membebani anggaran negara di masa akan datang. Karena itu para pihak yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan ini harusnya bisa mengevaluasi sebelum ini jadi bencana pada waktunya nanti,” katanya mengingatkan.
Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli mengatakan yang disebut utang, baik di dalam negeri maupun luar negeri, banyak yang dilelang, karena bunganya sangat tinggi.
Padahal, di AS, tingkat suku bunga untuk surat utang negaranya di bawah satu persen, sedangkan di Indonesia mencapai 10 persen, karena itulah, Surat Utang Negara (SUN) Indonesia itu banyak yang memburunya.
Ditanya kenapa pihak asing yang justru menguasai? Rizal mengatakan hal itu terjadi karena memang asing yang memiliki likuiditas. Kedua, lembaga-lembaga keuangan dalam negeri tidak mempunyai alokasi anggaran yang cukup untuk membeli SUN.
“Mereka (asing) itu lebih likuid,” ujar Rizal.
Jika dikaitkan dengan pidato Presiden SBY tentang ‘Nota Keuangan 2012′ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2011) lalu, pendapat Kusfiardi di atas sepertinya tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah Indonesia masih tetap mengandalkan utang luar negeri untuk menstabilkan defisit keuangan. Termasuk untuk menutupi defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2012 yang diperkirakan akan mencapai Rp 125,6 triliun atau 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Defisit akan kita jaga dan kendalikan sampai pada tingkat Rp 125,6 triliun atau 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto. Angka ini mengalami penurunan sebesar Rp 25,2 triliun dari proyeksi defisit APBN-P 2011 sebesar Rp 150,8 triliun atau 2,1 persen terhadap PDB,” ungkap Presiden SBY dalam pidato tahunannya.
Menurut SBY, untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah akan menggunakan sumber-sumber dana dari dalam dan luar negeri. “Sumber utama pembiayaan dalam negeri, tetap mengandalkan penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN. Sedangkan dari luar negeri berasal dari pinjaman, baik untuk program maupun proyek,” kata SBY. Jadi, benarkah Sri Mulyani biang kerok hobi ngutang Indonesia?
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=46074
Tidak ada komentar:
Posting Komentar