Wacana pembubaran Badan Anggaran (Banggar) DPR karena dianggap sebagai sarang mafia anggaran, tidak sepenuhnya mendapat respon positif. Apabila Banggar ditiadakan, maka sama saja melupakan dosa-dosa yang pernah dilakukan para mafia sebelumnya.
NAMUN, yang lebih parah lagi, penghapusan Banggar DPR justru akan membuat permainan mafia anggaran semakin dahsyat. Lantas, model seperti apa yang mesti ditempuh untuk menekan aksi para ‘garong uang rakyat’ itu?
Ketua Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I), Tom Pasaribu mengakui agak sulit menemukan formula yang tepat bagaimana cara yang paling ampuh untuk mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tangan-tangan jahil.
“Kalau Banggar dibubarkan, itu tidak akan selesaikan masalah. Karena bukan hanya tahun ini saja hal itu terjadi, itu sudah berakar. Lalu, apakah mafia anggaran yang dulu-dulu lalu dilupakan begitu saja,” kata dia kepada Monitor Indonesia, Rabu (24/8/2011) malam.
Lebih parahnya lagi, lanjut Tom, apabila Banggar benar-benar dicoret, permainan para garong uang rakyat, baik di legislatif dan eksekutif akan semakin merajelala. Pasalnya, pengesahan APBN harus tetap melalui DPR, sehingga para pemainnya pun akan tetap sama. Ulah para garong itu pun akan makin awet, lantaran kasus sebelumnya tidak diproses hukum.
“Jika Banggar dibubarkan, maka akan terjadi permainan baru yang lebih jahat, karena kasus pertama saja tidak selesai. Karena kan pemainnya akan tetap sama. Selama ini kasusnya selalu begitu,” tukas dia.
Berdasarkan investigasi dan data yang dia miliki, permainan mafia anggaran terutama di DPR sudah sejak lama menggurita. Hal ini bisa terjadi karena pengesahan anggaran ada di tangan legislatif. Sehingga, mau tidak mau, pemerintah selaku eksekutif “terpaksa” juga ikut bermain.
“Di DPR dan DPRD seluruh Indonesia, model garongnya hampir sama. Anggaran itu kan kalau tidak disahkan di paripurna maka tidak bisa cair. Inilah peluang yang dimanfaatkan DPR. Itu sebabnya, oknum pemerintah terlibat juga. Misalkan, di daerah A perlu jembatan, padahal jembatan itu kalau dihitung biayanya tidak seimbang dengan pendapatan di daerah itu selama 50 tahun ke depan. Tetapi karena ada kongkalikong, anggaran untuk jembatan itu akhirnya bisa dicairkan,” kata Tom memberikan salah satu contoh praktik kotor calo anggaran.
Itu pula sebabnya, Tom tidak yakin dengan klaim pemerintah yang menyatakan APBN banyak dikuras untuk anggaran gaji PNS. Kalau mau jujur, lanjut dia, menguapnya APBN itu justru banyak terjadi pada saat pengesahan APBN itu sendiri. Sehingga, moratorium (penghentian sementara) penerimaan PNS merupakan akal-akalan pemerintah.
“Kebocoran APBN itu bisa sampai 50 persen per proyek. Karenanya dibuatlah pengalihan isu melalui moratorium PNS. Sebenarnya yang menguras itu adalah adanya praktik mafia di anggaran. Ini lagi-lagi menjadi korban adalah rakyat. Kebocoran itu sangat dahsyat, karena seharusnya parlemen adalah pengontrol justru ikut bermain,” kritik dia.
Puncaknya, praktik percaloan anggaran itu semakin tidak bisa terkontrol, lantaran lemahnya penegakan hukum di negeri. Kepolisian, Kejaksaan, bahkan KPK sekalipun tidak lagi bisa diandalkan. Buktinya, setiap kasus pelanggaran yang ditangani penegak hukum tidak pernah berbuah maksimal. Sedangkan KPK yang diharapkan sebagai benteng terakhir penegakan hukum malah terjebak dalam korupsi politik yang tidak kalah dahsyatnya.
“Yang justru kita pertanyakan adalah dimana peranan KPK dan aparat hukum lainnya? Karena selama ini sudah banyak masyarakat yang mengadu. Lantas, kepada penegak hukum mana kita percaya untuk membongkar mafia itu? KPK sendiri terjebak dalam korupsi politik saat ini,” papar Tom.
Meski demikian, harapan untuk membenahi Banggar tetap masih ada. Kuncinya, aparat penegak hukum terutama KPK harus benar-benar memiliki independen dan memiliki integritas yang kuat.
“Intinya, calon pimpinan KPK jangan ada yang berlatarbelakang polisi atau jaksa,” pungkas Tom Pasaribu.
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=45779
http://monitorindonesia.com/?p=45769
http://monitorindonesia.com/?p=45772
http://monitorindonesia.com/?p=45776
http://monitorindonesia.com/?p=45780
NAMUN, yang lebih parah lagi, penghapusan Banggar DPR justru akan membuat permainan mafia anggaran semakin dahsyat. Lantas, model seperti apa yang mesti ditempuh untuk menekan aksi para ‘garong uang rakyat’ itu?
Ketua Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I), Tom Pasaribu mengakui agak sulit menemukan formula yang tepat bagaimana cara yang paling ampuh untuk mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tangan-tangan jahil.
“Kalau Banggar dibubarkan, itu tidak akan selesaikan masalah. Karena bukan hanya tahun ini saja hal itu terjadi, itu sudah berakar. Lalu, apakah mafia anggaran yang dulu-dulu lalu dilupakan begitu saja,” kata dia kepada Monitor Indonesia, Rabu (24/8/2011) malam.
Lebih parahnya lagi, lanjut Tom, apabila Banggar benar-benar dicoret, permainan para garong uang rakyat, baik di legislatif dan eksekutif akan semakin merajelala. Pasalnya, pengesahan APBN harus tetap melalui DPR, sehingga para pemainnya pun akan tetap sama. Ulah para garong itu pun akan makin awet, lantaran kasus sebelumnya tidak diproses hukum.
“Jika Banggar dibubarkan, maka akan terjadi permainan baru yang lebih jahat, karena kasus pertama saja tidak selesai. Karena kan pemainnya akan tetap sama. Selama ini kasusnya selalu begitu,” tukas dia.
Berdasarkan investigasi dan data yang dia miliki, permainan mafia anggaran terutama di DPR sudah sejak lama menggurita. Hal ini bisa terjadi karena pengesahan anggaran ada di tangan legislatif. Sehingga, mau tidak mau, pemerintah selaku eksekutif “terpaksa” juga ikut bermain.
“Di DPR dan DPRD seluruh Indonesia, model garongnya hampir sama. Anggaran itu kan kalau tidak disahkan di paripurna maka tidak bisa cair. Inilah peluang yang dimanfaatkan DPR. Itu sebabnya, oknum pemerintah terlibat juga. Misalkan, di daerah A perlu jembatan, padahal jembatan itu kalau dihitung biayanya tidak seimbang dengan pendapatan di daerah itu selama 50 tahun ke depan. Tetapi karena ada kongkalikong, anggaran untuk jembatan itu akhirnya bisa dicairkan,” kata Tom memberikan salah satu contoh praktik kotor calo anggaran.
Itu pula sebabnya, Tom tidak yakin dengan klaim pemerintah yang menyatakan APBN banyak dikuras untuk anggaran gaji PNS. Kalau mau jujur, lanjut dia, menguapnya APBN itu justru banyak terjadi pada saat pengesahan APBN itu sendiri. Sehingga, moratorium (penghentian sementara) penerimaan PNS merupakan akal-akalan pemerintah.
“Kebocoran APBN itu bisa sampai 50 persen per proyek. Karenanya dibuatlah pengalihan isu melalui moratorium PNS. Sebenarnya yang menguras itu adalah adanya praktik mafia di anggaran. Ini lagi-lagi menjadi korban adalah rakyat. Kebocoran itu sangat dahsyat, karena seharusnya parlemen adalah pengontrol justru ikut bermain,” kritik dia.
Puncaknya, praktik percaloan anggaran itu semakin tidak bisa terkontrol, lantaran lemahnya penegakan hukum di negeri. Kepolisian, Kejaksaan, bahkan KPK sekalipun tidak lagi bisa diandalkan. Buktinya, setiap kasus pelanggaran yang ditangani penegak hukum tidak pernah berbuah maksimal. Sedangkan KPK yang diharapkan sebagai benteng terakhir penegakan hukum malah terjebak dalam korupsi politik yang tidak kalah dahsyatnya.
“Yang justru kita pertanyakan adalah dimana peranan KPK dan aparat hukum lainnya? Karena selama ini sudah banyak masyarakat yang mengadu. Lantas, kepada penegak hukum mana kita percaya untuk membongkar mafia itu? KPK sendiri terjebak dalam korupsi politik saat ini,” papar Tom.
Meski demikian, harapan untuk membenahi Banggar tetap masih ada. Kuncinya, aparat penegak hukum terutama KPK harus benar-benar memiliki independen dan memiliki integritas yang kuat.
“Intinya, calon pimpinan KPK jangan ada yang berlatarbelakang polisi atau jaksa,” pungkas Tom Pasaribu.
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/?p=45779
http://monitorindonesia.com/?p=45769
http://monitorindonesia.com/?p=45772
http://monitorindonesia.com/?p=45776
http://monitorindonesia.com/?p=45780
Tidak ada komentar:
Posting Komentar