Persoalan Papua sudah masuk ke tahap kritis. Jika kondisi ini terus dibiarkan, berpisahnya Papua dari Ibu Pertiwi hanya tinggal menunggu waktu. Padahal, konflik yang melanda Papua sangat berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan rakyat. Singkatnya, pendekatan dari hati ke hati adalah kunci utamanya.
BUMI Papua butuh perhatian ekstra pemerintah pusat. Sebagai wilayah paling timur Indonesia, Papua selama ini dikenal mengalami ketertinggalan dari daerah lainnya di Nusantara. Masyarakat di sana belum bisa disebut sejahtera kendati di bawah tanahnya terdapat kekayaan yang luar biasa. Ke depan, pemerintah perlu merumuskan kesejahteraan rakyat Papua dengan pendekatan pembangunan melalui kebijakan agar tercapainya solusi tepat atas ketidakadilan yang berlangsung lama ini.
“Akar permasalahan Papua harus digali mendalam, agar membuka ruang dialog yang semakin intens ke arah pencapaian reformulasi strategi dan pembangunan yang berkeadilan untuk Papua,” ujar Ketua Dewan Direktur Sabang-Marauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan.
Hal ini dikemukakan Syahganda dalam seminar nasional bertajuk “Reformasi Strategis Pembangunan yang Berkeadilan di Papua di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (29/11/2011).
Menurut Syahganda, pemerintah pusat dari tahun ke tahun mengidap kelambanan dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat Papua, yang berdampak munculnya ketidakpuasaan warga Papua hingga kini. “Bisa dikatakan pemerintah tidak melaksanakan asas demokrasi untuk menerapkan pembangunan di Papua,” ujarnya.
Syahganda menambahkan, pembangunan Papua meski telah diikuti perjalanan sepuluh tahun Undang-undang No 21/2011 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, ternyata tidak menyelesaikan kemelut dan harapan keadilan rakyat Papua. Sebaliknya, konflik terus berjalan tetapi tidak direspon pemerintah dengan agenda pembangunan yang mampu menyentuh permasalahan pokok.
“Inilah akibat rangkaian konflik dan pemicu utama tidak mampu dijawab dengan cepat dan tepat oleh pemerintah. Dengan demikian pembangunan yang direncanakan pemerintah tak pernah melahirkan kenyamanan, apalagi kemenangan rakyat Papua,” tuturnya.
Syahganda menilai kehadiran pihak asing seperti Freeport yang menikmati kekayaan Papua, justru dibiarkan mendapatkan kemewahan tanpa menawarkan kemudahan pada hajat hidup orang Papua.
Seminar bulanan SMC ini dihadiri Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo, Ketua Fraksi-PAN DPR RI Tjatur Sapto Edi, Dekan FISIP UI Bambang Shergi Laksmono.
Sebelumnya, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mengajukan pembentukan daerah otonomi baru sebanyak 54 daerah. Jumlah itu terdiri dari tujuh provinsi, 43 kabupaten, dan empat kota. “Kami mendapat permohonan 54 daerah otonomi baru,” ujar Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat rapat kerja (raker) dengan Tim Monitoring Papua dan Papua Barat di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (25/11/2011).
Dikatakan Gamawan, pihaknya belum menindaklanjuti permohonan pembentukan daerah otonom baru tersebut. Namun yang pasti, permohonan akan dibahas terlebih dulu bersama DPR. Saat ini, Gamawan menjelaskan, Kemendagri baru berupaya mengkaji 43 kabupaten.
Gamawan juga menyampaikan untuk meningkatkan kualitas pegawai negeri di Papua, Kemendagri membuka peluang bagi putra-putri Papua untuk magang setahun di Kemendagri.
Mendagri juga berusaha agar putra-putri Papua diberi kesempatan magang di instansi pemerintahan di provinsi lain. “Akan diusahakan magang di provinsi lain. Ini akan mempercepat berkembangnya wawasan, kompetensi, dan kemampuan lain,” terang Gamawan.
■ Ishak H Pardosi
http://monitorindonesia.com/2011/11/29/selesaikan-persoalan-papua-dari-hati-ke-hati/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar