Ada hipotesis yang cukup menggelitik; orang Batak yang berasal dari pedalaman cenderung tidak sanggup bersaing dengan mereka yang berasal dari perlintasan emas Tapanuli. Jika ditelisik lebih mendalam, lahirnya sebuah peradaban baru adalah penyebabnya. Kini, setelah era otonomi daerah bergelora, masihkah hipotesis itu relevan?
Ishak H Pardosi
Tiga potong kue, semangkuk jus jeruk plus alunan musik lembut mendayu di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan. Sore itu, saya akhirnya bisa bertatap muka dengan salah satu putra terbaik Batak, yang kini sedikit terlihat renta. Ya, membuat janji sepakat untuk bertemu muka dengan pria ini memang gampang-gampang susah. Dibalut jas coklat lengkap dengan topi koboi, ia memulai perbincangan di sebuah meja berbalut kain putih, di sebelah kanan pintu masuk hotel yang tidak terlalu mentereng itu.
Ihwal pertemuan itu sendiri, sebenarnya karena saya ingin memintai analisis dan pengamatannya soal maraknya aksi teror di Tanah Air, belakangan ini. Sebagai veteran di dunia intelijen formal, DR AC Manullang memang dikenal tahu banyak seluk-beluk spionase. Sehingga, ia acapkali dimintai komentar oleh awak media massa.
Meski sudah cukup lama meninggalkan dunia intelijen formal, AC Manullang ternyata masih mampu mengendus pihak mana saja yang berupaya menciptakan kerusuhan di Indonesia. Sedikit bocoran dari Manullang, rangkaian teror yang melanda Indonesia memang sengaja diciptakan demi kepentingan ekonomi pihak Barat. Sedangkan motif ideologi atau agama yang sering disebut sebagai alasan di balik teror itu, hanyalah topeng untuk mengaburkan pemahaman publik.
Harus diakui, AC Manullang adalah seorang dedengkot yang dikenal piawai tentang seluk-beluk spionase. Apalagi, karirnya semasa di intelijen cukup meyakinkan pengetahuannya itu. Terakhir, ia menjabat sebagai salah satu direktur di BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) sebelum berubah nama menjadi BIN (Badan Intelijen Negara).
Namun, bukan analisis soal bagaimana teroris beraksi di Indonesia yang membuat saya semakin penasaran. Bukan pula soal misteri intelijen yang sepertinya sering tidak masuk akal. Akan tetapi, ada hal menarik dari “Si Ompung” demikian ia biasa disapa, yang membuat akal logika saya sedikit terguncang.
Dikatakan Manullang, bibit unggul orang Batak yang dibuktikan dengan banyaknya putra-putri Batak yang cukup sukses di negeri ini, sebenarnya tidak datang begitu saja. Akan tetapi, pencapaian itu tumbuh secara perlahan sebagai akibat dari kerasnya perjuangan kehidupan di bumi Tapanuli. Tanah yang kurang subur ditambah metode pertanian yang tradisional, minimnya lapangan pekerjaan, serta masih sulitnya akses ke daerah lain memaksa orang Batak terdahulu berjibaku untuk keluar dari kesengsaraan itu. Tidak ada pilihan lain kecuali melakukan migrasi ke daerah lain yang lebih maju. Itulah awal diaspora orang Batak ke wilayah luar, seperti halnya langkah Yahudi zaman dulu.
Tak perlu waktu lama, orang Batak dengan mudahnya bisa ditemukan di setiap sudut Nusantara, di samping terus menjelajah ke mancanegara. Hebatnya lagi, orang Batak bukan sekadar berpencar tanpa hasil. Diyakini, karena diawali tekad ingin mengubah ritme kehidupan, secara sporadis pula orang Batak akhirnya berhasil menuai kesuksesan. Dalam beberapa dekade saja, Batak berubah menjadi salah satu suku yang disegani di Republik, paling tidak untuk sampai saat ini.
Sampai di sini, paparan Manullang masih sama dengan apa yang di pikiran saya sebelumnya. Dari berbagai pengalaman dan banyaknya literatur mengenai seluk-beluk kesuksesan orang Batak, apa yang dikatakan Manullang di atas, tidak ada yang terlalu istimewa.
Suara musik mendayu masih berlanjut. Ia masih setia dengan tutur katanya yang meledak-ledak, sesekali tertawa terbahak. Manullang kembali melanjutkan paparannya. Kata Manullang, orang Batak yang berasal dari daerah Tapanuli pedalaman akan sulit bersaing dengan orang Batak yang berasal dari daerah Tapanuli yang telah bersinggungan dengan budaya dari luar.
“Dalam hal kemajuan berpikir yang selanjutnya mempengaruhi tingkat kesuksesan, orang Habinsaran tidak akan mungkin bisa mengalahkan orang Balige, misalnya. Begitu juga dengan daerah lainnya,” seru Manullang mendeskripsikan dua daerah yang berbeda.
Saya harus menghela nafas sejenak. Jujur saja, saya cukup terkejut dengan komentar itu. Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi. Bukankah orang Batak di Habinsaran sama dengan orang Batak di Balige? “Pada dasarnya, keduanya adalah sama, yang membedakan adalah di Habinsaran itu tidak ada peradaban baru yang lahir, sedangkan di Balige itu jelas ada,” jawab Manullang.
Hadirnya sebuah peradaban baru merupakan jawaban kenapa seseorang atau sebuah komunitas bisa menjadi lebih maju. Membandingkan Habinsaran dengan Balige, dalam hal peradaban baru tentulah sangat jauh berbeda. Di Habinsaran, hampir tidak ada peradaban baru, berbeda dengan Balige yang sejak lama sudah disinggahi peradaban baru.
Masih kata Manullang, peradaban baru merupakan hasil dari percampuran budaya asli dengan budaya yang datang dari luar. Dengan adanya percampuran itu, selanjutnya akan melahirkan budaya baru yang lebih modern. Dengan kata lain, perjumpaan antara masyarakat Balige dengan masyarakat luar Balige, pelan-pelan akan melahirkan pemikiran dan kemajuan baru.
Sampai di sini, saya harus menyerah dan manggut-manggut saja. Sepintas, pemikiran Manullang ini ada benarnya. Buktinya, orang Batak yang saat ini mampu berkiprah di tingkat nasional, mayoritas berasal dari lintasan ‘emas’ Tapanuli. Mereka rata-rata berasal dari kawasan Tarutung, Balige, Samosir, Porsea, maupun Siantar. Kalaupun ada yang berasal dari daerah pedalaman Tapanuli seperti Habinsaran, jumlahnya memang bisa dihitung jari. Itu pun sebenarnya belum bisa disebut mampu merebut tempat di tingkat nasional.
Namun, hipotesis yang agaknya sudah mendekati kebenaran milik AC Manullang itu, kemungkinan besar akan gugur, paling lama dua puluh tahun mendatang. Ini menurut saya. Otonomi daerah yang kini menggelora di seluruh Indonesia, termasuk di kawasan Tapanuli adalah alasan utamanya.
Kita tentu sepakat, relevansi antara otonomi daerah dengan peradaban baru sangatlah kuat. Pembangunan kawasan Tapanuli, seperti Kecamatan Habinsaran di Kabupaten Tobasa merupakan indikator utamanya. Sejak otonomi daerah bergulir 1999 lalu, Habinsaran yang dulu dikenal tertinggal, saat ini boleh sedikit dibanggakan. Denyut pembangunan di berbagai sektor kehidupan senantiasa berkembang. Saat ini, sudah cukup banyak orang di luar Habinsaran yang mempunyai kepentingan dan harus bersinggungan dengan daerah ini. Otomatis, sebagaimana analisis AC Manullang, peradaban baru di bumi Habinsaran sebenarnya sudah terlahir. Di luar Habinsaran, saya meyakini hal yang sama juga sedang terjadi. Bahkan, mungkin lebih dahsyat.
Saya juga percaya, DR AC Manullang tidak akan keberatan apabila hipotesis miliknya akan segera berakhir, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Tanpa kecuali, seluruh kawasan Tapanuli nantinya akan bisa maju bersama-sama, membangun sekaligus mengabdi hanya untuk negeri tercinta. Selamat datang peradaban baru.
Tulisan ini dimuat di Majalah HORAS edisi 145, 1-20 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar